Kutitipkan Anak Ini Pada Tuhan Alisaa membuka perlahan mata indahnya, mencoba melawan rasa pening yang menusuk-nusuk kepala, juga linu di persediaan tubuh yang seolah membuat seluruh tulangnya patah. Alisaa mencoba mengembalikan kesadarannya tentang apa yang baru saja terjadi, kemalangan dari segala kemalangan yang menimpa dirinya. Ketika kesadarannya mulai pada titik penuh, Alisaa mendapati dirinya tergeletak tak berdaya di tengah gudang pengap tak berpenghuni dengan pakaian compang camping yang hanya menutupi sebagian tubuhnya secara asal-asalan. Rasa sakit tak terhingga merobek-robek kemaluannya, tapi lebih dari itu, hati Alisaa-lah yang paling sakit. "Aagh…" tangis pun pecah meramaikan kesepian ruangan 10 X 15 meter yang di dalamnya hanya terdiri dari barang-barang rongsokan. Sepintas ingatan berkelebat pada kejadian malam sebelumnya, ketika Alisa berjalan tergesa di kekelaman malam, menghindari segerombolan laki-laki buas yang mencoba merayu dirinya dan mengajaknya untuk bersamanya. Dan laki-laki itu akhirnya memaksanya, memegang kuat-kuat kedua lengannya yang rapuh, dan Alisa tak ingat lagi apa yang terjadi kemudian. *** "Aku memang anak pelacur, tapi aku tak ingin menjadi pelacur. Aku pun tak ingin menjadi anak pelacur. Bila aku boleh memilih, aku pasti akan memilih mempunyai orang tua yang baik-baik, lahir dari suatu perkawinan yang sah. Tapi, apakah aku punya pilihan?" Alisa tetap bertahan di tengah gunjingan teman, tetangga, dan semua orang di sekitarnya tentang imej jelek keluarganya. Lahir dari rahim seorang pelacur, sundal, lonte, PSK, perek, atau nama lain apa sajalah yang dapat mewakili sebutan seorang penjaja tubuh dan cinta. Hidup memang sebuah pilihan, tetapi tidak untuk memilih dari siapa manusia dilahirkan. Dan kehidupan terus bergulir ketika hasrat untuk hidup sebenarnya telah benar-benar hilang, memaksa untuk tetap berjuang di tengah kebuasan dunia dan makhluk dunia yang bernama, manusia. Alisa mencoba tetap bertahan dalam kegetiran hidup yang sebenarnya tak diingininya, untung emaknya yang biasa bergelut dengan berbagai macam lelaki tak menjerumuskannya ke lembah hitam sebagaimana dunianya sehari-hari. Walau tak dididik sebagai anak soleh, tapi paling tidak, emak Alisa mempunyai cita-cita mulia, menjadikan Alisa seorang wanita karir atau semacamnyalah, agar kehidupan pahit tak terus menerus menyelimuti kehidupan anak semata wayangnya yang diapun tak mengerti siapa bapak sahnya. "Alisa, jangan pernah kamu percaya dengan laki-laki, mereka makhluk paling pembual di dunia. Dan janganlah tiru jejak kehidupan emak yang suram ini. Cukup hanya emak yang terperosok dalam kegelapan, hidup dalam kehinaan, tak punya harga diri, dan selalu diinjak lelaki walaupun mereka selalu membuahkan jasa emak," kata Emak Alisa. Alisa selalu mengingat kata-kata emaknya. Emak sebenarnya baik, hanya karena kehidupan serba kekurangan yang memaksanya menjalani profesi terkutuk. Sempat terlintas dalam pikiran Alisa, seandainya kakek dan neneknya orang kaya, tentu emaknya tak akan pernah jadi sampah bagi masyarakat. Tapi Alisa tetap mencintai wanita itu walaupun Alisa pernah merasa muak dan jijik. Terutama ketika suatu kali didapatinya emaknya bergumul dengan seorang lelaki asing di ranjang satu-satunya di rumah Alisa yang hanya berupa dinding-dinding bambu. Dadanya terasa sesak, saat itu Alisa masih berumur sepuluh tahun, usia yang terlalu dini untuk mengerti dalam mengartikan sebuah kehidupan. *** Kehidupan belum usai ketika Alisa merasa dirinya tak lagi punya harapan keadaan yang lebih baik. Karena satu-satunya mahkota kehidupannya telah direnggut paksa, mahkota yang menjadikan dirinya lebih terhormat dibanding dengan emaknya di mata masyarakat. Sesuatu yang diharapkan dapat menghapus citra jelek anak seorang pelacur telah hilang dalam waktu satu malam. "Aku tak tahu apakah aku memang ditakdirkan mengikuti jejak emak, apakah Tuhan telah merencanakan bertambahnya seorang pelacur di muka bumi ini dengan hancurnya kebanggaan hidupku?" Alisa protes kepada Tuhan akan apa yang telah ditimpakan padanya. Hanya itu yang Alisa bisa lakukan, hanya protes dalam hati tanpa mampu diungkapkannya melalui kata ataupun lewat tingkah laku. Alisa sebenarnya tahu ini adalah hal yang dilarang oleh agama. Alisa masih ingat apa yang diucapkan Pak Syaiful, guru ngajinya di langgar dekat rumah pak kepala desa di mana Alisa sering mengikuti ceramah beliau setiap Minggu pagi, "Tuhan itu Maha Adil, tak ada satupun kejadian yang tidak ada hikmahnya bagi manusia. Hanya mausia yang kadang-kadang tidak mengerti di mana letak manfaat yang Tuhan maksudkan. Maka janganlah pernah menghujat Tuhan, apalagi mengatakan Tuhan tidak adil, karena Tuhan itu Maha Mengetahui segala yang kita perbuat maupun yang kita pikirkan walaupun itu masih berupa niat yang tersembunyi dalam hati." Apakah Tuhan masih mau mendengarku? Apakah Tuhan masih mau melihatku? Apakah Tuhan tahu apa yang sedang kualami? Bukankah Tuhan Maha Mengetahui segala sesuatu? Dan apakah Tuhan masih mau mengangkatku dari lembah kegelapan hidup yang selama ini mengikuti ke mana langkahku pergi? *** Sebulan berlalu dari kejadian mengenaskan itu. Suatu pagi Alisa merasa mual-mual. Perutnya seolah diaduk-aduk isinya dan Alisa memuntahkan semua isi perutnya yang sejak kemarin hanya terisi air. Alisa tahu apa maknanya. Sering ia melihat tetangga-tetangga yang memang rumahnya tak berjarak dengan gubuk Alisa mengalami hal yang sama pada pagi-pagi sekali, ketika mentari masih menggeliat bangun dari peraduan. Dan tak lama berselang pasti dikabarkan mereka hamil, ada yang satu bulan, tiga minggu, bahkan ada yang sudah tiga bulan. Dan Alisa hamil. Kehamilan yang sama sekali tidak diinginkannya, kehamilan karena peristiwa tragis itu. Diperkosa. Ini adalah anak haram, dia memang tidak berdosa, tapi dia pasti akan menanggung segala beban yang tidak seharusnya ditanggung olehnya kelak. Seperti halnya aku yang tak tahu siapa bapakku, seperti itu pula dia nantinya. Dikucilkan, dicela, dijauhi, seperti halnya kualami. Tak ada seorang anakpun yang mau lahir sebagai anak haram. Aku juga tak mau dia menderita, karena mungkin jika dia boleh memilih, dia pasti akan memilih untuk tidak dilahirkan. Karena kelahirannnya tidaklah diinginkan terutama oleh masyarakat yang serba munafik ini. "Ahhh… Tuhan, maafkan aku. Kutitipkan anak padamu saja. Juga kutitipkan sisa hidupku di sampingmu. Ampunilah segala dosaku… amien." Alisa menghembuskan nafas terakhirnya di tali gantungan. Afifi Titasahra Mahasiswi UIN Malang